Scroll untuk baca artikel
banner 325x300
Example floating
Example floating
c6977f0a-f46e-4df3-87a2-2d9e5f46e571
Bolmut

Memerangi Wartawan Bodrex: Para Pecundang yang Mencatut Nama Pers

×

Memerangi Wartawan Bodrex: Para Pecundang yang Mencatut Nama Pers

Sebarkan artikel ini
bsg-copy

Bolmut, temposatu.com – Ah, “wartawan bodrex” itulah sebutan yang belakangan ini jadi tren di kalangan pejabat yang kerap ketakutan dengan sorotan media. Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto pun ikut-ikutan melempar istilah ini, menyebut mereka yang kerap “mengganggu” kepala desa.

Menarik, bukan? Pejabat memang kadang punya hobi yang unik: menggeneralisasi.

Tapi mari kita bicara jujur. Wartawan gadungan ini memang ada, berkeliaran dengan modal kartu pers dari media yang tak jelas juntrungannya. Mereka bukan datang untuk menggali informasi, melainkan menggali isi dompet kepala desa. Gertak sambal ala “kami akan bongkar skandal desa ini!” menjadi senjata utama mereka. Lucunya, begitu beberapa lembar rupiah berpindah tangan, mendadak investigasi pun lenyap bak kabut pagi.

Tak bisa dipungkiri, para oknum “wartawan bodrex” ini lebih kreatif daripada konten kreator di media sosial. Mereka tahu cara bermain dengan ketakutan, tahu betul bahwa banyak kepala desa yang ogah ribet, malas berurusan dengan berita miring, dan akhirnya memilih jalan damai dengan amplop berisi kedamaian. Ini bukan jurnalisme, ini mafia kecil-kecilan yang berkedok pers.

Yang jadi korban? Tentu saja wartawan sungguhan. Mereka yang benar-benar bekerja keras menggali fakta, yang mempertaruhkan reputasi dan idealisme, harus ikut terseret dalam gelombang kecurigaan publik. Tak jarang, mereka harus menjelaskan bahwa “bukan, saya bukan wartawan bodrex,

saya tidak menjual berita saya!” Miris? Jelas. Tapi inilah kenyataan yang kita hadapi.

Meski begitu, kita juga tak bisa membiarkan pejabat menjadikan istilah “wartawan bodrex” sebagai tameng universal. Jangan sampai ini jadi senjata baru untuk menghindari kritik. Kita tahu betul, ada banyak pejabat yang alergi dengan transparansi, yang lebih suka wartawan tipe “tukang rilis pers” daripada yang benar-benar menginvestigasi.

Jika benar ada wartawan gadungan yang melakukan pemerasan, ya, tangkap saja! Proses hukum mereka, bukannya malah menjadikan ini sebagai alasan untuk menyamaratakan semua wartawan sebagai pengganggu. Jika kepala desa merasa diperas, mengapa tidak melapor? Bukankah hukum masih berlaku di negeri ini?

Solusinya? Mudah diucapkan, sulit diterapkan. Organisasi pers seperti PWI dan AJI harus lebih proaktif, bukan sekadar mengeluarkan pernyataan keprihatinan. Sertifikasi dan uji kompetensi harus diperketat, dan media yang tidak jelas asal-usulnya harus diberantas. Kita tidak bisa membiarkan jurnalisme dikotori oleh mereka yang hanya menjadikan profesi ini sebagai alat pemerasan.

Pada akhirnya, perang melawan “wartawan bodrex” ini bukan cuma tanggung jawab pemerintah atau organisasi pers. Masyarakat juga harus lebih kritis. Jangan langsung percaya pada media abal-abal yang isinya hanya berita bombastis dan menakut-nakuti. Wartawan sejati adalah mereka yang menulis untuk kebenaran, bukan untuk isi dompetnya.

Jadi, wahai para “wartawan bodrex,” kalau mau cari uang, jadilah pedagang yang jujur, influencer yang kreatif, atau setidaknya calo parkir yang lebih terhormat. Karena jurnalisme itu bukan untuk dijadikan alat memeras!.

Oleh: Ramdan Buhang.

(Angki)

Pasang Iklan Disini
Example 120x600
bsg-copy